Sriwijayapost.com, 26 Juli 2025 – Fenomena “Sound Horeg”, parade sound system berukuran besar dengan suara menggelegar, terus memicu perdebatan sengit di masyarakat Jawa Timur.
Istilah Jawa yang berarti “bergerak” atau “bergetar” ini merujuk pada acara karnaval dengan speaker raksasa yang menghasilkan suara hingga 135 desibel, setara mesin jet. Dengan demikian, sound horeg menjadi simbol budaya populer sekaligus sumber keresahan.

Baca Juga
Heboh Amplop Kondangan Kena Pajak? DJP: Hoaks, Tak Ada Aturan Baru!
Bagi pendukungnya, seperti komunitas di Malang dan Sidoarjo, sound horeg adalah hiburan rakyat, ekspresi kreativitas, dan penggerak ekonomi lokal. “Acara ini bikin UMKM ramai, pedagang makanan laku keras,” ujar Hermanto, pemilik usaha horeg di Madura.
Namun, banyak warga kontra karena suara keras mengganggu, terutama lansia, anak sakit, atau ibadah. Ahmad Zainudin dari Pasuruan menyebut, “Bass-nya bikin genting rumah pecah, konvoi juga rusak fasilitas umum.”
Baca Juga
Polda Metro Jaya Sita Ijazah SMA-S1 Jokowi untuk Uji Forensik
Polemik memuncak setelah MUI Jawa Timur dan 50 pesantren di Pasuruan mengeluarkan fatwa haram pada 27 Juni 2025, menyebut sound horeg melanggar syariat karena kebisingan, joget tak pantas, dan kerusakan moral.
“Suara horeg ganggu masyarakat, ada bukti rumah warga rusak,” kata Muhibbul Aman Aly, pengasuh Pesantren Besuk. Sebaliknya, Gus Rofi’i menilai fatwa ini gegabah, berdampak pada ekonomi pelaku usaha. “Harusnya edukasi, bukan pelarangan mutlak,” ujarnya.
Ramai bereaksi via tagar #SoundHoreg, dengan sebagian mendukung larangan karena risiko gangguan pendengaran, sementara lainnya bela sebagai budaya rakyat. Polresta Malang resmi melarang sound horeg pada 16 Juli usai insiden pengeroyokan warga yang protes. Dengan begitu, solusi seperti batasan volume dan edukasi teknologi audio diusulkan untuk menyeimbangkan ekspresi budaya dan kenyamanan masyarakat.
Baca Juga : Skandal Ganda Yuddy Renaldi: Eks Dirut BJB Tersangka Korupsi KPK dan Kejagung