Sriwijayapost.com, 17 Desember 2025 – Yandex, sering disebut sebagai “Google-nya Rusia“, mengalami dampak signifikan dari sanksi Barat pasca-invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Perusahaan ini terpaksa menjual aset operasionalnya di Rusia senilai US$5,2 miliar (sekitar Rp83 triliun) kepada konsorsium investor Rusia pada 2024, dengan diskon wajib hingga 50% sesuai aturan Kremlin.
Awalnya, Yandex NV yang berbasis di Belanda menghadapi ancaman bangkrut pada 2022 karena sahamnya di Nasdaq ditangguhkan dan kesulitan transfer dana akibat sanksi. Pendiri Arkady Volozh pun kena sanksi EU hingga dicabut pada 2024.

Baca Juga
Apa Itu Samtek Tambah Kecap yang Viral? Simak Penjelasannya!
Restrukturisasi ini memisahkan bisnis Rusia—termasuk mesin pencari, ride-hailing, dan e-commerce—menjadi entitas domestik sepenuhnya. Sementara Yandex NV berganti nama menjadi Nebius Group dan fokus pada AI serta cloud computing internasional.
Hingga 2025, Yandex tetap dominan di Rusia dengan pangsa pasar lebih dari 60%, tapi kehilangan akses teknologi Barat dan ekspansi global. Penjualan ini menandai akhir era perusahaan teknologi Rusia dengan pengaruh internasional kuat.
Baca Juga
5 Rekomendasi Film Indonesia Terbaik yang Wajib Kamu Tonton!
Sanksi Barat juga memaksa banyak perusahaan Rusia repatriasi aset. Sementara Yandex kini lebih terintegrasi dengan ekosistem domestik seperti VK dan Lukoil.
Kesimpulan: Imbas sanksi Barat membuat Yandex bertransformasi dari raksasa tech global menjadi pemain lokal Rusia. Kasus ini mencerminkan isolasi teknologi Rusia di era geopolitik 2025.











